Penjelasan Membaca Surat Al-Fatihah dalam Sholat

Setelah membaca do’a iftitah, dianjurkan untuk diam sejenak kemudian membaca surat al-Fatihah. Membaca surat al-Fatihah termasuk daripada rukun sholat, sehingga hukumnya wajib untuk dibaca baik dalam sholat fardhu maupun sholat sunnat. Di dalam kitab al-Umm disebutkan:

“Telah menceritakan kepada kami ar-Rabi’, ia berkata: telah berkata al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah: bahwasanya Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk membaca ummul-qur’an (surat al-Fatihah) di dalam sholat. Hal ini menunjukkan bahwa membaca surat al-Fatihah adalah termasuk ke dalam fardhu sholat dan hendaknya orang yang membaca surat tersebut membaguskan bacaannya tersebut.

Telah menceritakan kepada kami ar-Rabi’, ia berkata: telah berkata al-Imam asy-Syafi’i Rahimahullaahu Ta’aala: Diriwayatkan dari Sufyan bin Uyainah dari az-Zuhri dari Mahmud bin Rabi’ dari Ubadah ibn Shomit bahwasanya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepadanya bahwa tidak sah sholatnya seseorang yang tidak membaca surat al-Fatihah.” (al-Umm, juz 2, halaman 243)

Sebagai rukun dari sholat, maka surat al-Fatihah harus dibaca dengan sempurna, sesuai dengan urutan ayatnya, dan memperhatikan kaidah-kaidah tajwid. Disebutkan di dalam kitab syarah Sullamut Taufiq:

“Rukun sholat yang keempat ialah membaca daripada surat al-Fatihah dengan menyertakan basmalah, memperhatikan tasydid, kesinambungan bacaan, urutan ayat, melafadzkan huruf dengan benar sesuai makhrajnya dan tidak ada kekeliruan yang dapat merusak maknanya.” (Syarah Sullamuttaufiiq)

Di dalam membaca surat al-Fatihah, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan, yaitu:


a. Membaca Ta’awwudz

Surat al-Fatihah adalah bagian dari al-Quran, maka sebagai adab di dalam membaca ayat-ayat al-Quran adalah dengan membaca Ta’awwudz, yaitu bacaan:

“Aku memohon perlindungan kepada Allah Ta’aala daripada gangguan syaithon yang terkutuk.”

Dibaca secara pelan, walaupun pada sholat jahr (sholat yang bacaannya diucapkan dengan keras). Hal ini dijelaskan oleh Syaikh Nawawi al-Bantani (Syaikh Muhammad bin Umar an-Nawawi al-Bantani) di dalam kitabnya Maraqi al-‘Ubudiyyah sebagai berikut:

“Selanjutnya setelah diam sejenak hendaknya mengucapkan bacaan ta’awwudz { أعوذ بالله من الشيطان الرجيم } secara pelan.”

Kesunnahan membaca ta’awwudz ini didasarkan atas Firman Allah Ta’aala:

“Apabila kamu membaca al-Quran, hendaknya kamu meminta perlindungan kepada Allah dari Syaithan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl: 98)


b. Membaca Basmalah

Membaca surat al-Fatihah diawali dengan basmalah. Hukum membaca basmalah adalah wajib karena merupakan ayat dari surat al-Fatihah. Maka dari itu tidak sah sholat seseorang yang meninggalkan bacaan basmalah ini.

Bacaan basmalah adalah bagian dari surat al-Fatihah didasarkan atas firman Allah Ta’aala:

“Dan sungguh Kami telah berikan kepadamu (Nabi) tujuh ayat yang berulang-ulang dan al-Quran yang agung” (QS. Al-Hijr: 87)

Al-Imam asy-Syafi’i Rahimahullaahu Ta’aala di dalam kitabnya al-Umm menjelaskan tentang bacaan basmalah sebagai bagian dari tujuh ayat yang berulang-ulang sebagai berikut:

“Telah mengkhabarkan kepada kami ar-Rabi’, ia berkata: telah berkata asy-Syafi’i: Meriwayatkan kepada kami Abdul Majid ibn Abdul Aziz dari ibn Juraij, ia berkata: mengkhabarkan kepadaku ayahku, dari Sa’id bin Jubair:{ ولقد أتيناك سبعا من المثاني } ia adalah ummu al-Quran. Berkata ayahku: Sa’id bin Jubair membacakannya kepadaku hingga selesai kemudian ia berkata { بسم الله الرحمن الرحيم } adalah termasuk ayat yang tujuh. Berkata Sa’id: telah membaca pula yang demikian ini ibn ‘Abbas sebagaimana aku membacanya kepada engkau, kemudian ia berkata: { بسم الله الرحمن الرحيم } adalah termasuk ayat yang tujuh. “ (al-Umm, juz 2 halaman 244-245)

Yang dimaksud dengan tujuh ayat yang berulang-ulang adalah surat al-Fatihah, sebab al-Fatihah itu sendiri terdiri dari tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang pada tiap-tiap raka’at shalat. Dalam sebuah hadits disebutkan:

“Dari Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jika kalian membaca al-hamdulillaah (surat al-Fatihah) maka bacalah bismillaahirrahmaanirrahiim. Sesungguhnya al-Fatihah itu induk dari al-Quran dan induk al-Kitab serta tujuh ayat yang diulang-ulang. Dan bismillaahirrahmaanirrahiim adalah salah satu ayatnya.” (Sunan ad-Daruquthni, juz 1, halaman 312 [36]. Sunan al-Baihaqi, juz 2, halaman 45 [36], sanad hadits ini adalah shahih).

Dari hadits tersebut diatas sangat jelas bahwa bacaan basmalah adalah ayat yang pertama dari surat al-Fatihah. Sebab jika tanpa basmalah, maka surat al-Fatihah itu hanya terdiri dari enam ayat, dan tentunya hal ini tidak sesuai dengan penyebutan tujuh ayat yang berulang-ulang tersebut.

Di hadits yang lain disebutkan:

“Dari Ummu Salamah, sesungguhnya Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam di dalam sholat membaca “Bismillaahirrahmaanirrahiim” dan menghitungnya sebagai ayat pertama, “Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin” ayat kedua, “Arrahmaanirrahiim” ayat ketiga, “Maaliki yaumiddiin” ayat keempat. Dan Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Begitupula “Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin”, dan beliau menunjukkan lima jarinya.” (Sunan al-Baihaqi, juz 2, halaman 4 [2214], Shahih ibn Khuzaimah juz 1, halaman 248 [493], al-Mustadrak ‘alaa ash-Shahihaini juz 1, halaman 356 [848]. Dishahihkan oleh ibn Khuzaimah dan al-Hakim)

Imam asy-Syafi’i Rahimahullaahu Ta’aala mengatakan bahwa basmalah merupakan bagian dari ayat yang tujuh dalam surat al-Fatihah. Jika ditinggalkan, baik seluruhnya maupun sebagiannya, maka raka’at sholatnya dihukumi tidak sah.

“Imam asy-Syafi’i Rahimahullaahu Ta’aala berkata: Bacaan Bismillaahirrahmaanirrahiim merupakan bagian tujuh ayat dari surat al-Fatihah. Apabila ditinggalkan atau tidak dibaca sebagian ayatnya, maka raka’atnya tidak cukup.” (al-Umm Juz 2 halaman 244).

Karena merupakan bagian dari surat al-Fatihah, maka bacaan basmalah ini dianjurkan untuk dikeraskan bacaannya ketika seseorang membaca surat al-Fatihah dalam sholat jahr. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Dari Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam mengeraskan bacaan basmalah.” (Sunan ad-Daruquthni juz 1 halaman 307 [20], al-Mu’jam al-Kabir juz 10 halaman 277 [10651], al-Mu’jam al-Awsath juz 1 halaman 15 [35])

Kesunnahan mengeraskan bacaan basmalah ini banyak tercantum di dalam kitab-kitab hadits. Dan amaliah ini selalu diamalkan dari generasi ke generasi sebagaimana dicontohkan oleh para shahabat Nabi dan pengikutnya:

“Dari Muhammad bin Abi as-Sirri al-Asqallaani ia berkata: Aku sering sholat shubuh dan maghrib bermakmum kepada Mu’tamar bin Sulaiman. Dan ia mengeraskan bacaan basmalah sebelum al-Fatihah dan setelahnya. Dan aku mendengar Mu’tamar berkata: Cara seperti ini aku lakukan karena aku mengikuti sholat ayahku. Dan ayahku berkata: Aku mengikuti sholat Anas bin Malik. Dan Anas bin Malik berkata: Aku mengikuti cara Sholat Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam. (al-Mustadrak, juz 1 halaman 385 [854]).

Salah seorang imam terkemuka dari madzhab Syafi’i, yaitu al-Imam Zakariya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi di dalam kitabnya Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab menyebutkan:

“Berkata ibn Khuzaimah di dalam karyanya, adapun pendapat yang menyatakan bahwa bacaan basmalah dibaca secara keras, ini adalah pendapat yang benar. Telah ada hadits dari Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dengan sanad yang muttashil (para perawinya tsiqat dan sanadnya benar-benar bersambung sampai kepada Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam), tidak diragukan, serta tidak ada keraguan dari para ahli hadits tentang shahih serta muttashil-nya sanad hadits ini. Selanjutnya ibn Khuzaimah berkata: Telah jelas, dan telah terbukti bahwa Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam mengeraskan bacaan basmalah di dalam sholat. Dan mentakhrij pula Abu Hatim ibn Hibban di dalam Shahih-nya dan ad-Daruquthni di dalam Sunan-nya beliau berkata: Hadits ini shahih, seluruh perawinya tsiqat. Dan meriwayatkan pula al-Hakim di dalam Mustadrak, beliau berkata: Hadits ini shahih menurut syarat-syarat al-Bukhari dan Muslim. ” (Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, juz 3 halaman 302)


c. Membaca Amin

Setelah selesai membaca surat al-Fatihah, hendaknya membaca Amin. Disebutkan di dalam sebuah hadits:

“Dari Wa’il bin Hujr ia berkata: Saya mendengar Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam membaca “Ghairil maghdhuubi ‘alaihim waladhdhalliin”, selanjutnya beliau membaca: “Aamiin” dan mengeraskan suaranya.” (Sunan at-Tirmidzi, juz 2 halaman 27 [248], sunan al_baihaqi, juz 2 halaman 58 [2283])

Sedangkan mengenai tata cara membaca Amin tersebut, Syaikh Muhammad bin Umar an-Nawawi al-Bantani memberikan penjelasan sebagai berikut:

“Hendaknya janganlah engkau sambungkan bacaan Amin dengan bacaan Waladhdholliin. Akan tetapi keduanya dipisahkan dengan berhenti sejenak, untuk membedakan bacaan dzikr dengan bacaan al-Qur’an. Dan disunnahkan untuk membaca: ‘Rabbighfirlii’ (Wahai Tuhanku, ampunilah hamba)” (Syarh Maraqi al-‘Ubudiyyah halaman 48)

Mengenai bacaan “Rabbighfirlii” sebelum membaca “Amin” ini, Imam Jalaluddin as-Suyuthi menjelaskannya di dalam kitabnya ad-Durr al-Mantsur fi at-Tafsiir bi al-Ma’tsur:

“Diriwayatkan dari ibn Abi Syaibah dari Ibrahim an-Nakha’i ia berkata: “Disunnahkan pada saat imam membaca ayat { غير المغضوب عليهم ولا الضالين }, hendaknya mengucapkan do’a: { رب اغفرلي امين} ” (ad-Durr al-Mantsur fi at-Tafsiir bi al-Ma’tsur juz 1 halaman 92).



Source : http://tentangbidahdholalah.blogspot.co.id

No comments:

Post a Comment