Fosil manusia purba yang ditemukan di Goa Harimau diperkirakan berumur 3.000 tahun
Banyak tanda tanya dari penemuan fosil manusia purba berumur 3.000 tahun di Gua Harimau, Desa Padangbindu, Kecamatan Semidangaji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Kamis pekan silam. Apalagi tim Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Departemen Budaya Pariwisata mengakui penemuan ini tergolong luar biasa di Indonesia.
Banyak tanda tanya dari penemuan fosil manusia purba berumur 3.000 tahun di Gua Harimau, Desa Padangbindu, Kecamatan Semidangaji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Kamis pekan silam. Apalagi tim Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Departemen Budaya Pariwisata mengakui penemuan ini tergolong luar biasa di Indonesia.
Jangankan mendekatinya, mendengar nama Gua Harimau saja membuat bulu kuduk berdiri. Begitulah mitos yang tertanam di benak warga Desa Padangbindu. Dinamakan Gua Harimau karena pada zaman dahulu, di gua yang memiliki pintu masuk sekitar 40 m-50 m tersebut terkenal tempat harimau menyimpan hasil buruannya. Gua dengan kemiringan 60 derajat hingga 80 derajat ini konon menjadi sarang harimau.
Seperti dituturkan Ketua Adat Desa Padangbindu, Kecamatan Semidangaji, Kabupaten OKU, Abdul Kori (72), kepada Sripo, Jumat (6/3), dahulu kala leluhur Desa Padangbindu bernama Sang Aji Bagur melarang anak cucunya mendekati Gua Harimau. Gua yang berjarak sekitar 1,5 km atau satu jam berjalan kaki dari Desa Padangbindu itu terkenal angker.
Bila ada yang berani mendekati wilayah itu dipastikan tidak akan selamat. Niscaya ia dimakan harimau. Kisah itu, menurut Kori, memang ada benarnya sebab ada beberapa warga yang pernah menemukan sisa-sisa tulang hewan di dalam gua.
Seiring berjalannya waktu, manusia pun semakin pintar. Mitos larangan mendekati Gua Harimau mulai dilanggar. Warga mulai berani mendekati Gua Harimau yang ternyata menyimpan harta karun sebab di langit-langit gua banyak sarang burung walet. Sejak itulah warga tidak takut lagi mendekati Gua Harimau untuk mencari rezeki. "Sekarang gua itu tidak lagi angker," urai Kori.
Bahkan, sudah banyak petani yang membuka kebun dan ladang di sekitar gua. Tiap hari Gua Harimau dilalui pejalan kaki menuju ladang. Maka keangkeran gua pun sirna.
Bentuk fisik gua
Versi lain mengatakan, nama Gua Harimau diambil dari bentuk fisik gua karena pintu masuk gua mirip mulut harimau yang sedang menganga, dengan gigi-gigi dan taring yang tajam.
Bila diperhatikan secara seksama bentuk fisik gua memang ada kemiripan dengan mulut harimau yang siap menyantap mangsanya.
Namun, hingga sejauh ini tokoh masyarakat setempat mengaku belum tahu persis asal mula gua yang memiliki langit-langit (atap gua) setinggi 20-30 meter itu sehingga dinamakan Gua Harimau.
Ketua Adat Desa Padangbindu mengakui, suasana di sekitar Gua Harimau dulu dan sekarang memang sudah jauh berbeda. Goa yang dulu terkenal angker dan sangat ditakuti warga kini tidak lagi.
Terbukti kedatangan tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional berhari-hari melakukan penelitian di lokasi di dalam gua. Hasilnya sangat mengagetkan. Peneliti berhasil menemukan fosil empat kerangka manusia prasejarah yang diperkirakan berumur 3.000 tahun di dalam gua.
Penemuan lainnya di dalam gua selain kerangka (lukisan di dalam gua dan kalung berbandul taring babi hutan) dan sejumlah peralatan rumah tangga yang terbuat dari batu. Temuan arkeolog di Desa Padangbindu ini menambah informasi lagi peradaban dan kebudayaan manusia purba.
Diposting Ulang Dari Dokumentasi Badan Arkeologi Dinas Paiwisata Nasional Republik Indonesia.
Namun, hingga sejauh ini tokoh masyarakat setempat mengaku belum tahu persis asal mula gua yang memiliki langit-langit (atap gua) setinggi 20-30 meter itu sehingga dinamakan Gua Harimau.
Ketua Adat Desa Padangbindu mengakui, suasana di sekitar Gua Harimau dulu dan sekarang memang sudah jauh berbeda. Goa yang dulu terkenal angker dan sangat ditakuti warga kini tidak lagi.
Terbukti kedatangan tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional berhari-hari melakukan penelitian di lokasi di dalam gua. Hasilnya sangat mengagetkan. Peneliti berhasil menemukan fosil empat kerangka manusia prasejarah yang diperkirakan berumur 3.000 tahun di dalam gua.
Penemuan lainnya di dalam gua selain kerangka (lukisan di dalam gua dan kalung berbandul taring babi hutan) dan sejumlah peralatan rumah tangga yang terbuat dari batu. Temuan arkeolog di Desa Padangbindu ini menambah informasi lagi peradaban dan kebudayaan manusia purba.
Diposting Ulang Dari Dokumentasi Badan Arkeologi Dinas Paiwisata Nasional Republik Indonesia.
PUSLIT ARKENAS/HANDOUT
Fosil manusia berumur sekitar 3.000 tahun dengan panjang kerangka yang masih utuh sekitar 2 meter ini ditemukan di Gua Harimau Desa Padangbindu Kecamatan Semidangaji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan.
Duduk berselonjor di antara sisa-sisa rangka manusia prasejarah yang begitu rapuh, Ngadiran tampak begitu menikmati pekerjaannya. Satu per satu rangka manusia purba itu ia gambar sesuai dengan keletakannya. Inilah proses identifikasi akhir sebelum kotak galian ditutup kembali.
Hingga penggalian tahap kedua usai, sedikitnya 18 individu manusia penghuni gua yang sudah diidentifikasi. Sebagian besar rangka temuan dalam ekskavasi tim Puslitbang Arkenas di Gua Harimau—berada di perbukitan karst sekitar tiga kilometer dari Desa Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan—itu relatif masih utuh. Satu di antaranya bahkan terlihat seperti orang menyeringai menahan rasa sakit.
"Lihat, ekspresinya persis kayak orang sakit gigi," kata Nurhadi Rangkuti, Kepala Balai Arkeologi Palembang, seraya menunjuk salah satu rangka di kotak galian nomor dua.
Meski sambil bergurau, Nurhadi Rangkuti sebetulnya tidak sedang bercanda. Hasil pengamatan Harry Widianto, ahli paleoantropologi yang juga adalah Kepala Balai Penelitian dan Pelestarian Situs Purbakala Sangiran, menguatkan dugaan itu. Bahwa, salah satu penyakit yang terlihat pada rangka-rangka manusia prasejarah dari Gua Harimau adalah adanya keropos gigi (karies) yang cukup signifikan.
Pada individu yang dirujuk Nurhadi, yang diidentifikasikan Harry sebagai laki-laki dewasa, kerusakan pada giginya terlihat begitu parah. Karies ini menyerang mulai dari mahkota gigi, akar gigi, dan berakibat pada bagian atas rahang bawah.
"Kondisi penyakit seperti ini akan memberikan rasa sakit luar biasa kepada si penderita," ujarnya.
Rupanya, dari hasil pengamatan Harry Widianto selama bertahun-tahun bergelut dengan sisa-sisa rangka manusia prasejarah, penyakit karies gigi seperti ini sangat menonjol pada ras Mongoloid. Bahkan, pada ras Mongoloid dengan budaya Austronesia yang merupakan cikal bakal sebagian besar manusia Indonesia (kecuali sejumlah kecil populasi di Indonesia bagian timur yang termasuk ras Australomelanesid) saat ini, fenomena karies gigi yang meluas tak hanya terjadi pada konteks prasejarah. "Pada populasi manusia ras Mongoloid sekarang pun, seperti saya ini, juga banyak ditemukan mengidap penyakit karies gigi," kata Harry.
Terkait pola makan Berdasarkan ciri-ciri morfologis, kuburan massal manusia prasejarah di Gua Harimau memang menunjukkan identitas mereka sebagai bagian dari ras Mongoloid. Kecenderungan umum pada kehidupan manusia prasejarah ras Mongoloid lebih bertumpu pada kegiatan meramu tumbuhan. Model pola makan inilah yang diduga menjadi penyebab utama karies gigi pada mereka.
Berbeda dengan Homo erectus yang hidup selama masa Pleistosen (lebih dikenal dengan sebutan zaman es) dan ras Australomelanesid pada pertengahan pertama masa Holosen (sesudah Pleistosen). Kedua ras manusia prasejarah ini adalah pemburu sejati dan hanya sedikit meramu tumbuhan. Oleh karena itu, pola makan mereka lebih bertumpu pada protein hewani dan hanya sedikit mengonsumsi karbohidrat.
Pengamatan Harry Widianto terhadap lebih dari 200 gigi-geligi Homo erectus dari Afrika, Asia, dan Eropa yang hidup sekitar 1,5 juta-300.000 tahun lalu menunjukkan tidak satu pun individu yang terserang penyakit karies gigi. Begitu pun pada ras Australomelanesid, yang hidup di gua-gua prasejarah di Pegunungan Sewu (membentang dari Kali Oya di Gunung Kidul, DI Yogyakarta, hingga Teluk Pacitan di Jawa Timur) dan Kalimantan Selatan pada 13.000-5.000 tahun lalu, juga tidak ditemukan individu yang giginya keropos.
Sebaliknya, pada ras Mongoloid (baru muncul di Nusantara sejak 4.000 tahun lalu) dengan model alimentasi (diet, pola makan) lebih bertumpu pada makanan yang mengandung banyak karbohidrat, penyakit keropos gigi terlihat begitu menonjol. Lantas, di mana hubungan sebab-akibatnya?
Sudah jadi pengetahuan umum bahwa jenis makanan yang banyak mengandung karbohidrat, seperti padi-padian, talas, dan umbi-umbian akan meninggalkan sisa makanan yang lebih melekat pada gigi. Selain melekat pada gigi, karbohidrat juga memberikan banyak zat gula, yang diketahui sebagai penyumbang munculnya karies gigi. Hal semacam itu tidak terjadi pada para pemburu dan peramu yang mengonsumsi daging hewan. Dengan demikian, kata Harry, terdapat hubungan yang sangat logis antara keropos gigi di kalangan Mongoloid dan model pola makan mereka yang lebih banyak mengonsumsi karbohidrat. "Besar kemungkinan pola makan tersebut, yang bertumpu pada ekonomi pertanian, yang telah memberikan penyakit gigi kepada kalangan Mongoloid," papar Harry Widianto.
Pola dan kebiasaan makan manusia Mongoloid prasejarah yang lebih bertumpu pada karbohidrat itu diduga terus berkembang ketika mereka membangun peradaban baru di luar gua, menjadi manusia menetap dengan membuka ladang-ladang pertanian. Jadi, tak usah heran apabila sebagian besar anak-cucu keturunan mereka hari ini (baca: bangsa Indonesia) lebih bergantung pada asupan makanan yang mengandung karbohidrat ketimbang protein hewani....
No comments:
Post a Comment