Assalaamu ‘alaikum
Wr.Wb…
Bagaimana
kabar keimanan ikhwah fillah…???
Alhamdulillah
jika kita masih diberikan nikmat terindah yakni nikmat Iman dan Islam, dimana
tauhid masih menghunjam kuat di dalam dada. Bersyukurlah kepada Allah SWT yang
maha membolak-balikkan hati manusia. Ikhwafillah yang dirahmati Allah, kali ini
penulis tergelitik untuk menulis terkait waktu yang menyebabkan ke-SIAL-an dalam ISLAM.
Berita
hangat saat ini yang beredar di media televisi adalah dimana buku-buku nikah
yang habis, kurang, tidak tersedia bahkan hari ini muncul berita tentang
beredarnya buku nikah palsu. Nikah merupakan perwujudan cinta AKU+KAU=KUA. Tak
ada wujud dan bukti cinta kecuali MENIKAHLAH. Seseorang yang sendiri dan mandiri karena Allah tentu
baik, namun menikah dan bertambah taqwa
bersama tentu lebih baik dan terbaik. Right???
Nah,
kembali ke tema, menghadapi momentum yang syakral ini, tentunya diperlukan
musyawarah nasihat, petuah,
masukan dan saran dari para sesepuh, sanak keluarga maupun handai taulan. Tak lain tak bukan kita semua,
orang tua, handai taulan memiliki niat yang luar biasa untuk menyelenggarakan hari
janji setia, janji suci ijab qabul (akad nikah) serta walimah dihari dan
tanggal serta bulan yang baik. Dimana waktu yang diyakini baik itu
menghindarkan dari kesialan. Tidak sedikit ummat Islam yang meyakini bahwa
adanya hari-hari tertentu yang SIAL. Benarkah
adanya hari dan tanggal atau nomor yang sial tersebut dalam ISLAM, lantas kapan
hari yang baik untuk menyelenggarakan pernikahan??? Pertanyaan besar!!!
Sebelumnya
perlu diketahui bahwa penulis bukanlah orang yang ahli dalam bidang ini. Namun
hamba yang hina dina serta penuh dengan kebodohan ilmu ini sekedar mencoba
untuk berbagi. Berikut hasil rangkuman penulis dari berbagai sumber.
Dalam masalah muamalah, selama
tidak ada larangan dalam syariat, semuanya baik. Termasuk penentuan tanggal
pernikahan atau tanggal hajatan lainnya. Bahkan kita tidak dibolehkan menghukumi ada hari sial atau tanggal sial,
kecuali dengan dalil. Dan kami tidak menjumpai ada satu dalil yang
menyebutkan tentang hari sial atau tanggal sial, yang selayaknya dihindari
ketika hendak melakukan hajatan.
1.
Berkeyakinan Sial, Termasuk Syirik
Dalam kajian masalah aqidah, berkeyakinan sial karena
melihat peristiwa tertentu atau terhadap hari tertentu disebut thiyarah atau tathayur. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut perbuatan ini sebagai kesyirikan,
sebagaimana disebutkan dalam hadis dari sahabat Ibn Mas’ud radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الطِّيَرَةُ
شِرْكٌ،
الطِّيَرَةُ
شِرْكٌ،
ثَلَاثًا
“Thiyarah itu syirik…, Thiyarah itu
syirik…, (diulang 3 kali)” (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibn Majah, dan
yang lainnya. Syuaib Al-Arnauth mengatakan, Sanadnya shahih).
Contoh
thiyaroh yang banyak tersebar di indonesia adalah keyakinan sial yang dialami
masyarakat jogja dan sekitarnya terhadap bulan suro (bulan Muharam). Pantangan
bagi mereka untuk melakukan hajatan apapun di bulan ini. Karena menurut mereka,
ulan suro ulan ciloko (bulan Muharam adalah bulan ancaman
bencana).
2.
Melawan Thiyaroh
Sesungguhnya keyakinan sebagian orang bahwa pernikahan yang dilakukan diantara bulan syawal dan dzulhijjah kurang
bagus atau membawa kesialan adalah keyakinan jahiliyah yang tidak memiliki
dasar sama sekali di dalam Islam.
Sejatinya keyakinan ini sama persis dengan keyakinan
masyarakat jahiliyah masa silam. Hanya saja bulannya berbeda. Bagi masyarakat
masa silam, bulan
syawal adalah bulan pantangan untuk menikah.
Untuk melawan keyakinan ini, bahkan
hal tersebut dibantah langsung oleh perbuatan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam yang menikahi ‘Aisyah dan
menggaulinya pada bulan Syawal, Beliau
ingin buktikan bahwa pernikahan bulan syawal tidak memberi dampak buruk apapun
bagi keluarga.
Sebagaimana
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari 'Aisyah dia berkata; Hal
ini sebagaimana yang dikisahkan oleh Aisyah radhiallahu ‘anha;
تزوجني رسول الله صلى الله عليه و سلم في شوال وبنى بي في شوال فأي نساء رسول الله صلى الله عليه و سلم كان أحظى عنده منى ؟ قال وكانت عائشة تستحب أن تدخل نساءها في شوال
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menikahiku di bulan Syawal, dan mengadakan malam pertama denganku di
bulan Syawal. Manakah istri beliau yang lebih mendapatkan perhatian beliau/keberuntungan
selain aku?” Salah seorang perawi mengatakan, “Aisyah menyukai jika suami
melakukan malam pertama di bulan Syawal.” (HR. Muslim, An-Nasa’i, dan yang
lain)
Berdasarkan
hadis ini, sebagian ulama menganjurkan
agar menikah atau melakukan malam pertama di bulan Syawal. Imam Muslim menamakan salah satu bab didalam kitab
shahihnya dengan “Anjuran Menikah dan
Menikahkan di Bulan Syawal”. Imam Nawawi
didalam “Syarh” nya mengatakan bahwa didalam hadits tersebut terdapat anjuran
untuk menikahkan, menikah dan menggauli pada bulan syawal. Sebagian sahabat
kami —ulama Syafi’i— menyatakan anjuran tersebut.
Sementara
ulama lainnya mengatakan, semacam ini dikembalikan pada tujuan dakwah. A’isyah
menyatakan demikian sebagai bentuk tantangan kepada keyakinan masyarakat
jahiliyah bahwa nikah di bulan syawal tidak akan bahagia dan berakhir dengan
perceraian. Namun A’isyah meyakinkan,
dirinya wanita paling bahagia, padahal beliau menikah dengan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam di bulan syawal.
Mereka berdalil dengan hadits ini. Dan Aisyah r.a dengan perkataan
ini bermaksud menjawab apa yang terjadi pada masa jahiliyah dan apa yang
dikhayalkan sebagian orang awam hari ini bahwa makruh melangsungkan pernikahan,
menikahkan atau menggauli di bulan syawal, sungguh
ini sebuah kebatilan yang tidak memiliki dasar. Ia adalah peninggalan
jahiliyah. (Shahih Muslim bi Syarh an Nawawi juz V hal 131)
Imam
Nawawi mengatakan,
وقصدت عائشة بهذا الكلام رد ما كانت الجاهلية
عليه وما يتخيله بعض العوام اليوم من كراهة التزوج والتزويج
والدخول
في شوال وهذا باطل لا أصل له وهو من آثار الجاهلية
كانوا يتطيرون
بذلك
“Tujuan Aisyah mengatakan demikian adalah
sebagai bantahan terhadap keyakinan jahiliah dan khurafat yang beredar di
kalangan masyarakat awam pada waktu itu, bahwa dimakruhkan menikah atau
melakukan malam pertama di bulan Syawal. Ini adalah keyakinan yang salah, yang
tidak memiliki landasan. Bahkan, keyakinan ini merupakan peninggalan masyarkat
jahiliah yang meyakini adanya kesialan menikah di bulan Syawal.” (Syarh Shahih
Muslim, 9/209).
3.
Hati-Hati dengan Pitungan dan Weton
Satu tradisi lain di jawa, pitungan. Sebagian orang diyakini
memiliki kemampuan bisa menghitung dan memaknai tanggal, bulan, weton, dst.
Sejatinya tidak ada ilmu baku dalam hal ini, selain gothak – gathik – gathuk
(cok gali cok, digali-gali cocok). Dengan ilmu ini, Ki pitungan (tukang
menghitung tanggal) akan menentukan mana hari baik, mana hari kurang baik, mana
hari buruk, dan mana hari yang paling berbahaya.
Dan keyakinan bahwa pernikahan di bulan tersebut adalah kurang
baik, membawa kesialan, keburukan atau sejenisnya maka termasuk kedalam
perbuatan syirik yang dilarang Allah SWT karena menghilangkan ketawakalan
kepada Allah SWT.
100%
metode semacam ini adalah ramalan. Karena nasib dan takdir seseorang sama
sekali tidak ada hubungannya dengan tanggal lahir, weton, tanggal nikah, bulan
jodoh, dst.
Jangan sekali-kali mendekati, apalagi meyakini, karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ancaman, shalatnya
tidak diterima. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى عَرَّافًا
فَسَأَلَهُ
عَنْ شَيْءٍ،
لَمْ تُقْبَلْ
لَهُ صَلَاةٌ
أَرْبَعِينَ
لَيْلَةً
Siapa yang mendatangi peramal, kemudian
bertanya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak akan diterima selama 40 hari.
(HR. Ahmad, Muslim)
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Thiyarah (menggantungkan
nasib) adalah syirik dan tidaklah dari kami kecuali Allah menghilangkannya
dengan tawakkal."
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin 'Amru, dia berkata;
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Barangsiapa tidak
melanjutkan aktifitas kebutuhannya karena thiyarah (tahayul, beranggapan sial
karena melihat burung atau yang lainnya) maka sungguh ia telah berbuat syirik." Para sahabat
bertanya; "Lalu apakah yang dapat menghapuskannya wahai Rasulullah?" Beliau menjawab:
"hendaklah ia berdo'a; ALLAHUMMA LAA KHAIRO ILLA KHAIRUKA WALAA
THOIRO ILLA THOIRUKA WALAA ILAAHA GHOIRUKA (Ya Allah, tidak ada kebaikan
kecuali kebaikan yang datang dari-Mu, dan tidak ada nasib baik kecuali nasib
baik yang datang dari-Mu, dan tidak ada Ilah selain-Mu."
Dan berdoalah:
“A’uudzubika lima tillahit
tammatimin ghodhobihi wa ‘iqoobihi wasyarri ‘ibaadihi wamin hamazaa
tisy-syayathin wa ayahdhuruun”
Artinya:
Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari murkanya, dari
siksa-Nya dan dari kejahatan hambaNya, begitupun dari godaan-godaan syaithan
dan dari kehadiran mereka.
4.
Semua Tanggal Baik
Kalau
menentukan hari untuk melangsungkan pernikahan pada dasarnya semua hari adalah
sama baiknya. Jadi kapan saja bisa untuk menikah, karena semua hari adalah
baik. Jangan sampai karena pilah pilih hari, akhirnya pernikahan diundur-undur
hingga tidak jelas kapan tepatnya. Bahkan ada pula yang akhirnya membatalkan
rencana pernikahannya. Atau yang paling parah timbul fitnah dintara kedua calon
pengantin, na’udzubillah.
Jangan karena ingin mengikuti adat yang harus
dihitung-hitung lebih dulu untuk menentukan hari yang tepat untuk melangsungkan
pernikahan, akhirnya jadi berantakan. Hitung-hitungan njelimet yang membuat
pusing kepala, sebaiknya sih sudah dapat ditinggalkan. Cari yang mudah dan
sesuai ajaran agama yang benar. Mudahkanlah maka engkau akan dimudahkan.
Bukan
tidak menghargai cara-cara konvensional, hanya ingin berbagi tentang sebuah
kemuadahan yang telah tersedia. Yang memang benar-benar memudahkan siapapun
orangnya. Memberikan alternatif bagi siapapun yang ingin menikah dengan cara
yang mudah, baik, sesuai tuntunan.
Yang terpenting adalah ijab kabul saat berlangsungnya akad nikah, bukan saat pestanya. Jangan hal yang wajib-wajib malah dikesampingkan hanya untuk melaksanakan sesuatu yang tidak penting. Harus ada yang berani dan mau mengubahnya. Mungkin anda yang saat ini sedang merencanakan untuk menikah. Tentu perlu diberikan pemahaman terlebih dahulu kepada orang tua atau keluarga, agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Bersikaplah optimis, semua tanggal pernikahan adalah baik.
Tawakkal kepada Allah, dan memohon semoga Allah memberkahi pernikahan anda dan
keluarga anda. Selanjutnya jadikan keluarga anda: suami – istri yang bisa
bekerja sama untuk membangun taqwa kepada Allah, bekerja sama melakukan
ketaatan. Semoga perjumpaan pasangan muslim di dunia akan berlanjut akan
berlanjut di surga. Amiin.
Allahu
a’lam
Nah bagaimana dengan akad nikah pada hari JUMAT,
sebagian bilang dianjurkan, sebagian lain mengatakan bid’ah ???
Tidak diharuskan
mengadakan akad nikah pada hari tertentu dalam sepekan, tidak juga dalam
setahun. Bahkan seseorang dibolehkan mengadakan akad nikah pada hari apa saja
yang disepakatinya. Baik itu hari Jum’at atau hari-hari lain. Selagi telah
ditentukan untuk keperluannya atau karena hal itu lebih sesuai dengannya, maka
masalah tersebut –pada esensinya- tidak ada sunnah, tidak juga bid’ah.
Jika telah menetapkan hari apapun maka tidak perlu
merubah karena mendengar perkataan baik dan negatifnya hari tersebut. Namun silahkan
didiskusikan dan dimusyawarahkan. Tapi hati-hati mengarah kepada kesyirikan
yang tak disadari.
Adapun anjuran
akad nikah pada hari itu, dan sengaja (melakukan hal) itu, maka telah ada
ketetapan lebih dari seorang ahli fiqih dari pengikut empat mazhab.
Ibnu Qudamah
rahimahullah berkata;
‘Dianjurkan
melangsungkan akan nikah pada hari Jumat.’ (Al-Mughni, 7/64)
An-Nafrawi
Al-Maliki rahimahullah berkata:
‘Dianjurkan
mengadakan pinangan dan akad (nikah) pada hari Jumat.’ (Al-Fawakih Ad-Dawani,
2/11)
Silakan lihat
kitab Asna Al-Mathalib, karangan Syekh Zakariya Al-Anshari As-Syafii, 3/108.
Fathul Qadir, karangan Ibnu Humam Al-Hanafi, 3/189.
Mereka mengambil
dalil akan hal itu dari prilaku sekelompok ulama salaf. Di antaranya Dhamrah
bin Hubaib, Rasyid bin Sa’ad, Hubaib bin Utbah. Karena hari Jumat adalah hari
yang diberkahi, diharapkan pernikahannya mendapat barokah dari Allah karena
terlaksana pada hari yang diberkahi, juga karena ini hari yang mulia dan hari
Ied (raya).
Selayaknya
diperhatikan ungkapan para ahli fiqih dengan menggunakan kata ‘Yastahibu
(dianjurkan)’ bukan memakai kata ‘Yusannu (disunnahkan)’ karena mereka
mengetahui bahwa anjuran akad pada hari Jumat tidak ada dari Nabi sallallahu
alaihi wa sallam. Akan tetapi diriwayatkan dari sebagian ulama salaf dan para
ahli fiqih terdahulu. Serta ijtihad mereka agar mendapatkan barokah pernikahan
bertepatan dengan barakahnya hari Jumat. Dengan harapan agar Allah mengabulkan doa
di hari itu.
Para ahli fiqih
banyak sekali memudahkan dalam penggunaan ungkapan ‘Al-istihbab (anjuran)’
untuk masalah yang tidak ada dalilnya secara khusus. Maka kata ‘istihbab’ bagi
mereka lebih luas (cakupannya) dibandingkan dengan kata ‘Sunnah’ yang membutuhkan
landasan sunnah dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam dengan hadits marfu yang
shahih (hadits yang sampai kepada Nabi dengan sanad yang shahih). Oleh karena
itu sebagian ulama mengingatkan agar tidak menyandarkan anjuran (istihbab) ini
ke sesuatu yang sunnah ditetapkan dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam.
Agar tidak disangka bahwa hal itu adalah sunnah. Bahkan ada yang mengingatkan
bahwa anjuran ini masih perlu ditinjau lagi.
Syekh Ibnu
Utsaimin rahimahullah berkata:
“Saya tidak
mengetahui hal ini adalah sunnah. Mereka (yang mengatakan sunah)
beralasan bahwa di akhir waktu hari Jumat ada istijabah (dikabulkannya
doa). Maka diharapkan dikabulkan doa yang biasanya diberikan kepada kedua
mempelai dari orang yang memberikan ucapan barokah kepadanya, (seperti
berkata), ‘barakallahu laka wa ‘alaika /semoga Allah memberikan barokah kepada
anda’. Akan tetapi dikatakan, 'Apakah Nabi sallallahu alaihi wa sallam diantara
petunjuk dan sunnahnya berusaha melakukan pernikahan pada hari ini? Kalau ada
riwayat shahih, maka pendapat yang menganjurkan itu menjadi kuat. Kalau tidak
ada riwayatnya, maka tidak selayaknya menjadikan hal tersebut sebagai sunnah.
Oleh karena itu Nabi sallallahu alaihi wa sallam menikahkan pada waktu kapan
saja dan menikah pada waktu kapan saja, tidak ada riwayat beliau memilih waktu
tertentu.
Ya, kalau
bertepatan dengan waktu ini. Maka kita dapat mengatakan ‘Ini –insyaallah-
bertepatan yang bagus. Sementara kalau disengaja, maka ini masih perlu ditinjau
lagi, sampai ada dalil akan hal itu.
Yang benar adalah dapat dilakukan dimana saja jika ada
waktu yang mudah, baik di masjid, rumah, pasar, kapal terbang atau semisalnya.
Begitu juga dapat dilaksanakan kapan saja.’ (As-Syarh Al-Mumti, 12/33)
Kesimpulannya, selama anda telah tetapkan waktu itu sejak semula, maka
tidak mengapa melaksanakannya pada waktu itu. Tidak harus anda merubah waktu
yang telah ditentukan. Semoga Allah memberi rizki dan barakah pada hari ini dan
mendapat keutamannnya.
Wallahu’alam.
Sumber:http://hadikurniawanapt.blogspot.com/2013/11/hari-dan-tanggal-sial-dalam-islam.html
No comments:
Post a Comment